Rabu, 21 November 2012

Merencanakan Pemberdayaan Masyarakat dengan Pendekatan 7D


Sudah menjadi pembicaraan umum pada masa sekarang ini bahwa perencanaan pembangunan masyarakat (community development) hendaklah melibatkan partisipasi masyarakat. Community development  pada hakikatnya adalah pengembangan kapasitas (capacity development) yang di Indonesia dilakukan melalui program pemberdayaan masyarakat. Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri adalah wujud upaya pemerintah untuk meningkatkan efektivitas penanggulangan kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja dengan melibatkan partisipasi masyarakat mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga pemantauan dan evaluasi.
Para fasililitator di lapangan dihadapkan kepada berbagai pilihan model perencanaan pemberdayaan  yang akan digunakan, apakah misalnya  akan memilih model Plan, Do, Chek, Act (PDCA) Cycle, Logical Framework Approach (LFA) & Project Cycle Management (PCM), Participatory Rural Appraisal (PRA), atau pilihan lainnya. Tulisan ini mencoba mengemukakan suatu pendekatan yang merangkum inti dari pendekatan-pendekatan yang disebut terdahulu yang telah dikembangkan, diujicoba, dan disempurnakan oleh Organisasi Produktivitas Asia (Asian Productivity Organization), yakni Pendekatan 7D.
Perencanaan Pemberdayaan Masyarakat

Perencanaan merupakan fungsi manajemen yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan pembangunan. Ada tiga tipe perencanaan pembangunan, yaitu 1) perencanaan untuk masyarakat;  2) perencanaan bersama masyarakat; dan 3) perencanaan oleh masyarakat. Tipe pertama, yakni “perencanaan untuk masyarakat”, ciri-cirinya adalah pendekatan top-down, digerakkan oleh donor (penyedia dana), berorientasi pada output dan lebih berorientasi jangka panjang.  Dari tipe perencanaan ini dihasilkan suatu Rencana Induk Cetak Biru atau Blue Print Master Plan. Tipe kedua, yakni “perencanaan bersama masyarakat”, ciri-cirinya adalah kombinasi antara pendekatan top-down dan bottom-up, tetapi masih ada dominasi dari pihak luar, berorientasi proyek dan lebih berorientasi jangka menengah. Matriks Rencana Proyek atau Project Plan Matrix seringkali dikembangkan dari tipe ini. Tipe ketiga yaitu “perencanaan oleh masyarakat”, ciri-cirinya adalah berdasarkan permintaan masyarakat, berorientasi kepada aksi/tindakan, spesifik lokal, pendekatan bottom-up dan lebih berorientasi jangka pendek. Dari tipe perencanaan ini dihasilkan Rencana Aksi atau Action Plan (Gaertner, 2006).

Ketidakpuasan terhadap hasil perencanaan tipe pertama dan tipe kedua seperti kurangnya orientasi terhadap dampak dan hasil yang kurang berkelanjutan, membuat banyak negara  sekarang ini lebih suka melaksanakan tipe yang ketiga yaitu perencanaan oleh masyarakat. Tipe perencanaan ini merupakan wujud pemberdayaan yang secara memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk bukan hanya sekedar memberikan kontribusi atau share tenaga kerja, fasilitas, atau memberikan pendapat, namun secara penuh berpartisipasi dalam pengambilan keputusan untuk memilih dan merencanakan suatu proyek/kegiatan bersama, dan sekaligus juga melaksanakan, mengelola, memonitor dan mengawasinya.


Pengertian Pendekatan 7D

Pendekatan 7D adalah suatu pendekatan yang merangsang munculnya motivasi, berorientasi proses dan bersifat kolaboratif untuk mengelola suatu proyek. Proyek yang dimaksud di sini adalah suatu kegiatan pembangunan masyarakat (community development) dalam aspek tertentu kehidupan misalnya di bidang pertanian, bidang kesehatan, bidang pelestarian lingkungan, dan lain-lain. Dalam pemberdayaan masyarakat semua aspek pembangunan ini hendaklah dipandang sebagai sesuatu yang terpadu satu sama lain (integrated).  Pendekatan 7D menerapkan suatu model perencanaan apresiatif yang memusatkan perhatian secara khusus terhadap partisipasi masyarakat.

Menurut Dhamotharan (2009) proses perencanaan pembangunan masyarakat dengan pendekatan 7D dimulai dengan memberikan penghargaan terhadap potensi dan prestasi masyarakat serta nilai-nilai murni yang ada dalam masyarakat tersebut. Dilanjutkan kemudian dengan mendorong mereka untuk menyadari ketersediaan sumberdaya yang mereka miliki serta menganalisis kekuatan dan kelemahan mereka. Kesadaran akan semua hal ini akan menumbuhkan motivasi dan rasa percaya diri untuk mengambil alih tanggung jawab tentang masa depan mereka dengan cara merumuskan visi dan tujuan-tujuan. Setelah bersepakat tentang arah yang mereka tuju, masyarakat menyusun rencana mereka dan melaksanakannya dengan memanfaatkan sumberdaya internal dan eksternal yang ada. Agar tahapan-tahapan dalam Pendekatan 7D dapat berjalan dengan efektif keseluruhan prosesnya perlu difasilitasi oleh satu atau beberapa orang fasilitator.

Partisipasi masyarakat selama keseluruhan proses merupakan faktor kunci utama dalam Pendekatan 7D. Pada umumnya ada kecenderungan untuk mengartikan partisipasi hanya sekedar sebagai konsultasi atau memberikan kontribusi dalam bentuk uang atau sejenisnya, padahal hakikat partisipasi yang sebenarnya bukan hanya sekedar itu. Partisipasi merupakan suatu proses melibatkan masyarakat dan stockholder lainnya sedemikian rupa sehingga mereka dapat mempengaruhi dan bertanggung jawab dalam proses pengambilan keputusan.

Tahapan dalam Pendekatan 7D

Menurut Dhamotharan (2009) Pendekatan 7D terdiri dari tahapan sistematis sebagai berikut:
D1 – Developing relation (Mengembangkan hubungan)
D2 – Discovering capacities (Menemukan kapasitas)
D3 – Dreaming of community future (Membangun cita-cita masyarakat)
D4 – Directions of community actions (Arah tindakan masyarakat)
D5 – Designing community actions (Merancang tindakan masyarakat)
D6 – Delivering Planned Activities (Melaksanakan kegiatan)
D7 – Documenting Outputs, Outcomes and Learning (Mendokumentasikan hasil dan hal yang dipelajari)

Dari tujuh tahapan dalam pendekatan 7D, lima tahapan pertama merupakan tahapan perencanaan kegiatan/proyek yang dilakukan melalui serangkaian pertemuan kelompok masyarakat yang difasilitasi oleh satu atau beberapa orang fasilitator. Tiga tahapan pertama dtiitikberatkan pada menggerakkan aspek emosional manusia dan sangat baik diterapkan dalam suatu suasana yang kreatif dan apresiatif.  Tahapan keempat dan kelima memerlukan “kemampuan melakukan analisis” oleh kelompok masyarakat yang mengikuti pertemuan pemberdayaan. Tahapan keenam merupakan pelaksanaan kegiatan-kegiatan berdasarkan rencana yang telah disusun melalui tahapan pertama sampai dengan kelima. Tahapan ketujuh adalah refleksi terhadap keseluruhan proses.
Uraian singkat tahapan dalam pendekatan 7D adalah sebagai berikut:
D1 – Developing relation (Mengembangkan hubungan)
Langkah pertama dalam pemberdayaan adalah membangun suatu hubungan saling percaya di antara anggota kelompok masyarakat dan antara masyarakat dengan pihak luar seperti fasilitator, narasumber, pejabat pemerintah dan lain-lain. Untuk mewujudkan hal ini perlu disediakan waktu yang cukup bagi semua orang saling mengenal lebih dalam tentang diri masing-masing sehingga bisa menghargai kemampuan masing-masing untuk memberikan kontribusi terhadap pembangunan masyarakat. Bahkan walaupun sebagian anggota masyarakat sudah saling mengenal satu sama lain, akan baik sekali jika diberikan waktu untuk saling mengetahui potensi mereka masing-masing dan mencari kesalingterkaitan dan saling ketergantungan mereka dalam upaya memperbaiki kehidupan bersama.  Pada tahap ini perlu dibangun komunikasi yang tulus dan efektif di antara sesama anggota masyarakat dan antara masyarakat dengan pihak luar. Pihak pemerintah dan masyarakat dalam tahap ini perlu membangun saling keterbukaan jika mereka ingin mengubah perencanaan yang top-down menjadi suatu hubungan tulus yang membantu masyarakat mengembangkan kapasitasnya. Hakikat pemberdayaan yang sebenarnya bukanlah memberikan uang atau fasilitas kepada masyarakat, namun membantu agar mereka dapat mengelola kegiatan secara efektif dan efisien.

D2 – Discovering capacities (Menemukan kapasitas)
Fokus tahap ini adalah pemahaman terhadap kenyataan tentang masyarakat, berbagi pandangan dan menemukan kerumitan kehidupan masyarakat dan menghargai apa yang telah mereka capai. Ini merupakan bagian di mana masyarakat mencoba menemukan dan menghargai apa yang telah ada pada diri mereka. Pada tahap ini mereka mencoba mengenali dan menyadari prestasi mereka di masa lalu dan juga mengetahui masalah-masalah yang mereka hadapi pada saat itu, bagaimana mereka dapat memecahkannya, serta struktur organisasi apa yang mereka gunakan. Masyarakat mencoba menemukan dan memahami apa yang telah mereka miliki, apa kekuatan dan kelemahan mereka, dan apa potensi sumberdaya yang dapat mereka gunakan. Singkatnya, mereka mencoba memahami diri mereka sendiri. Pemahaman terhadap diri mereka sendiri akan menumbuhkan motivasi dan kegairahan mereka untuk bekerja bersama-sama.

D3 – Dreaming of community future (Membangun cita-cita masyarakat)
Pada tahap ini masyarakat didorong untuk menyatakan cita-cita mereka. Cita-cita adalah suatu gambaran kreatif tentang masa depan yang positif. Setelah memiliki cita-cita, mereka kemudian mengembangkannya menjadi visi. Visi adalah terjemahan sebuah cita-cita menjadi gambaran jangka panjang yang menarik dan jelas, yang mampu menumbuhkan suatu  komitmen yang kuat serta motivasi dan arah untuk bertindak. Selanjutnya visi yang jelas dapat dijabarkan menjadi tujuan. Proses merumuskan visi bersama adalah suatu prakondisi bagi munculnya tindakan bersama. Hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa cita-cita harus berasal dari masyarakat itu sendiri dan harus merupakan cita-cita seluruh masyarakat.

D4 – Directions of community actions (Arah tindakan masyarakat)
Fokus pada tahap ini adalah menetapkan tujuan yang jelas yang menjadi arah yang jelas bagi kegiatan-kegiatan masyarakat tersebut. Tujuan yang ditetapkan harus diarahkan kepada visi. Kejelasan tentang output akan mendukung pencapaian visi. Tujuan hendaknya dirumuskan dengan jelas dan disetujui oleh masyarakat.

D5 – Designing community actions (Merancang tindakan masyarakat)
Merancangan tindakan masyarakat adalah tahap bagi masyarakat untuk menerjemahkan visi, tujuan dan kegiatan-kegiatan ke dalam suatu rencana dengan struktur yang jelas dan logis. Beberapa aspek yang harus diperjelas adalah visi, tujuan, kegiatan, sumberdaya yang dibutuhkan, faktor-faktor penghambat, dan sebagainya. Bentuk rencana dapat berupa Kerangka Kerja Logis (Logical Framework), Matriks Rencana Proyek atau Rencana Aksi, atau bentuk lain yang lebih sederhana yang dapat dipahami oleh masyarakat. Selama proses pembuatan rencana, masyarakat harus mencoba untuk menggunakan sumberdaya internal di samping juga sumberdaya eksternal, misalnya yang berasal dari pemerintah dan organisasi non pemerintah.

D6 – Delivering Planned Activities (Melaksanakan kegiatan)
Fokus tahap pelaksanaan kegiatan adalah melaksanakan rencana yang telah disusun. Pada tahap ini input internal dan eksternal harus diatur sehingga kegiatan yang telah dirancang dapat dilaksanakan dengan sukses. Pengawasan yang ketat penting untuk meyakinkan bahwa kegiatan dilaksanakan dan perubahan-perubahan yang diperlukan telah dibuat. Demikian juga peranan semua pihak diperjelas dan tanggung jawab mereka masing-masing diketahui.

D7 – Documenting Outputs, Outcomes and Learning (Mendokumentasikan hasil dan hal yang dipelajari)
Dalam tahap ini masyarakat melakukan refleksi terhadap “proses perjalanan” dan hasil yang telah dicapai.  Refleksi dilakukan oleh kelompok masyarakat beserta semua pihak luar yang terlibat.  Dokumentasi merupakan evaluasi terhadap proyek dan rencana aksi untuk menilai keberhasilan perencanaan dan pelaksanaan kegiatan sesuai dengan visi dan tujuan yang telah ditetapkan. Dokumentasi terdiri dari analisis, berbagi pengalaman, dan merangkum semua pengetahuan dan pengalaman yang dipelajari dari tahapan-tahapan sebelumnya. Tahap ini penting untuk perbaikan atau kelangsungan langkah-langkah berikutnya dalam pencapaian visi.

Contoh Penerapan Pendekatan 7D

Fiji adalah salah satu negara anggota Organisasi Produktivitas Asia (Asian Producvity Organization) yang telah menerapkan pendekatan 7D ini dengan hasil yang baik. Fiji mulai menerapkan pendekatan ini melalui Ministry of Provincial Development sejak tahun 2004. Sebelum dijadikan sebagai  kebijakan nasional, penerapan dilakukan di sebuah desa model bernama Namatakula. Pendekatan yang diterapkan di Fiji adalah Pendekatan 6D yang juga dikenal sebagai Project Cycle Management (PPCM) yang dalam tahapannya masih belum mencantumkan D1 (Mengembangkan Hubungan). Contoh keberhasilan Desa Namatakula yang dicapai oleh masyarakat desa secara swadaya antara lain:
- Membangun kebun bunga untuk menarik turis dan membuat kontrak dengan hotel di Fiji untuk menjual bunga yang dipanen dari kebun tersebut.
- Memperluas kebun tanaman obat milik masyarakat untuk membuat obat tradisional dan menarik turis.
- Membangun trotoar di dalam desa pada jalan yang menuju lokasi wisata.
- Membuat kontrak dengan hotel berbintang lima terdekat (Warwick International Hotel) untuk melakukan kunjungan wisata harian ke desa Namatakula.
- Membuat dua buah aula serba guna milik masyarakat.
- Menjadi desa terbersih di Fiji.

Penutup

Pendekatan 7D merupakan suatu alternatif pendekatan yang dapat diterapkan dalam memfasilitasi perencanaan pemberdayaan masyarakat. Agar tahapan-tahapan dalam Pendekatan 7D dapat berjalan dengan efektif, keseluruhan prosesnya perlu difasilitasi oleh satu atau beberapa orang fasilitator yang benar-benar memahami konsep 7D dan terampil dalam pelaksanaan urutan tahapannya.

Berkaca dari keberhasilan negara lain dalam menggunakan pendekatan ini setiap fasilitator pemberdayaan masyarakat perlu meningkatkan pengetahuan dan keterampilan untuk menggunakannya. Untuk itu inisiatif dan peran balai diklat untuk menyelenggarakan pelatihan tentang 7D menjadi semakin penting.

Daftar Pustaka

Dhamotharan, Mohan. 2009. Hand Book on Integrated Community Development – Seven D Approach to Community Capacity Development. Asian Productivity Organization, Tokyo.
Gaertner, Ulrich. 2006. Planning for Development. PowerPoint Presentation Prepared for Training Programme “Participatory Project Cycle Management for Community Development“ in Suva, Fiji, June 04 – 18, 2006. Asian Productivity Organization, Tokyo.
Pemutakhiran Terakhir ( Wednesday, 29 September 2010 )  Oleh Anwar Syarif, Widya Iswara Madya.

Pengembangan kapasitas SDM



 
Pembangunan suatu bangsa memerlukan dukungan sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia.            Di antara kedua sumberdaya ini yang lebih penting dalam menentukan keberhasilan pembangunan adalah sumberdaya manusia, karena jika sebuah negara memiliki sumberdaya manusia yang terampil dan berkualitas maka negara itu akan mampu mengelola sumberdaya alam yang jumlahnya terbatas. Demikian pula halnya dengan pembangunan pertanian di Indonesia. Sumberdaya alam Indonesia yang melimpah hanya akan dapat dikelola dengan baik dan memberikan kemakmuran bagi masyarakat apabila dikelola oleh sumberdaya manusia pertanian yang unggul dan berkualitas.

Dengan demikian hal terpenting dalam pembangunan pertanian adalah melakukan pembangunan masyarakat (community development) yang bukan hanya sekedar untuk meningkatkan pendapatan tetapi lebih luas lagi yaitu mengembangkan kapasitas sumber daya manusia individu dan masyarakat sehingga mampu menolong diri mereka sendiri untuk mencapai kualitas hidup yang lebih baik dengan menggunakan sumberdaya internal dan eksternal.

Pengembangan kapasitas sumberdaya manusia sudah sering kita dengar dan bicarakan, namun belum tentu kita sepakat mengenai apa, bagaimana, dan siapa yang harus terlibat dalam penerapannya. Tulisan ini diharapkan dapat menjadi bahan bagi orang-orang yang terlibat dalam community development untuk lebih memahami mengenai pengembangan kapasitas (capacity development).

Pengertian Kapasitas dan Pengembangan Kapasitas

Pengembangan kapasitas (capacity development) adalah sebuah pendekatan yang pada masa sekarang ini secara luas digunakan dalam pembangunan masyarakat (community development). Istilah pengembangan kapasitas telah digunakan sejak tahun 1990an oleh negara-negara donor untuk memperbaiki kapasitas negara partner (negara yang mendapat bantuan).  Untuk memahami konsep pengembangan kapasitas kita terlebih dahulu perlu memahami pengertian kapasitas.

Kata kapasitas sering digunakan ketika kita berbicara tentang peningkatan kemampuan seseorang, ketika kita memperoleh sertifikasi, mengikuti pelatihan atau mengikuti pendidikan  (JICA, 2004). Dalam pengertian yang lebih luas, yang sekarang digunakan dalam pembangunan masyarakat, kapasitas tidak hanya berkaitan dengan keterampilan dan kemampuan individu, tetapi juga dengan kemampuan organisasi untuk mencapai misinya secara efektif dan kemampuan mempertahankan kelangsungan hidupnya dalam jangka panjang.

Kebanyakan literatur mendefinisikan kapasitas sebagai kemampuan umum untuk melaksanakan sesuatu. UNDP mendefinisikan kapasitas sebagai kemampuan (kemampuan memecahkan masalah) yang dimiliki seseorang, organisasi, lembaga, dan masyarakat untuk secara perorangan atau secara kolektif melaksanakan fungsi, memecahkan masalah, serta menetapkan dan mencapai tujuan (UNDP, 2006).

Menurut Uni Eropa pengembangan kapasitas adalah proses yang dialami oleh individu, kelompok dan organisasi untuk memperbaiki kemampuan mereka dalam melaksanakan fungsi mereka dan mencapai hasil yang diinginkan (Morgan, 2004). Dari pengertian ini kita dapat memberi penekanan pada dua hal penting: 1) pengembangan kapasitas sebagian besar berupa proses pertumbuhan dan pengembangan internal, dan 2) upaya-upaya pengembangan kapasitas haruslah berorientasi pada hasil.

United Nation Development Program (UNDP) mendefinisikan pengembangan kapasitas sebagai suatu proses yang dialami oleh individu, kelompok, organisasi, lembaga dan masyarakat untuk meningkatkan kemampuan mereka agar dapat: 1) melaksanakan fungsi-fungsi essensial, memecahkan masalah, menetapkan dan mencapai tujuan, dan 2) mengerti dan menangani kebutuhan pengembangan diri mereka dalam suatu lingkungan yang lebih luas secara berkelanjutan (CIDA, 2000).

Jika kita dalami semua pengertian di atas dapat kita simpulkan bahwa pengembangan masyarakat merupakan suatu  proses yang terjadi di dalam masyarakat itu sendiri (endogenous process). Kita, sebagai pihak luar tidak dapat mengembangkan orang-orang, organisasi, atau masyarakat, namun orang-orang, organisasi atau masyarakat itu sendirilah yang dapat mengembangkan diri mereka. Kita hanya dapat mendukung mereka dengan cara memfasilitasi proses untuk mempercepat perkembangan mereka, serta membantu mereka menemukan akses terhadap sumberdaya dan input yang mereka butuhkan. Dengan demikian, secara singkat ”pengembangan kapasitas dapat diartikan sebagai suatu proses dimana orang-orang, organisasi, dan masyarakat secara keseluruhan mengeluarkan, memperkuat, menciptakan, mengadaptasikan dan memelihara kemampuan mereka seiring dengan berjalannya waktu.”

Ruang Lingkup Pengembangan Kapasitas

Pengembangan kapasitas berlangsung di dalam organisasi, di dalam masyarakat, di seluruh wilayah geografis, di dalam sektor nirlaba, serta di seluruh sektor kehidupan. Pengembangan kapasitas melibatkan perorangan dan kelompok orang, organisasi, kelompok organisasi di dalam bidang atau sektor yang sama, dan juga organisasi serta pihak-pihak dari bidang dan sektor yang berbeda.

Secara umum terdapat tiga tingkatan atau tiga lapisan pengembangan kapasitas, yakni tingkat individu, tingkat organisasi, dan tingkat masyarakat (JICA, 2004). Semua tingkatan pengembangan kapasitas ini sama pentingnya serta saling tergantung dan saling mendukung satu sama lain. Karena Indonesia merupakan merupakan sebuah negara yang memiliki jumlah penduduk yang besar, dengan kondisi sosial ekonomi dan kondisi sosial budaya yang beragam, serta wilayah pelayanan yang sangat luas, maka pendekatan yang digunakan dalam pengembangan kapasitas di Indonesia adalah pendekatan kelompok. Dengan demikian, dalam prakteknya pengembangan kapasitas banyak berlangsung di dalam kelompok. Melalui fasilitasi kelompok, kapasitas kelompok serta kapasitas individu anggota kelompok dapat dikembangkan secara simultan.

Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana melaksanakan pengembangan kapasitas di tingkat masyarakat? Diharapkan  dengan memfasilitasi kerjasama diantara kelompok-kelompok dan mengembangkan jejaring (network) dengan organisasi-organisasi lain yang terkait di dalam masyarakat (misalnya di dalam wilayah sebuah desa, kecamatan, kabupaten atau bahkan di wilayah provinsi dan nasional),  pengembangan kapasitas pada tingkat masyarakat dapat berlangsung. Pemberlakuan kebijakan pengembangan kapasitas secara nasional bisa menjadi alat yang baik untuk mempercepat terjadinya pengembangan kapasitas di tingkat masyarakat.
Dalam suatu pendekatan yang holistik, kita hendaknya ingat bahwa pengembangan kapasitas harus menyentuh tingkat masyarakat, namun dalam prakteknya kita tidak harus memfasilitasi pengembangan masyarakat pada semua tingkatan sekaligus pada waktu yang sama. Terjadinya pengembangan kapasitas pada tingkatan-tingkatan tersebut tergantung pada tujuan program pembangunan masyarakat yang dilaksanakan. Pengembangan kapasitas bukanlah sesuatu yang instant. Pengembangan kapasitas merupakan suatu proses yang berlangsung dalam waktu panjang dan bisa dilakukan secara bertahap.

Kegiatan Pembelajaran dalam Pengembangan Kapasitas

Salah satu faktor kunci dalam pengembangan kapasitas adalah pembelajaran. Pembelajaran terjadi pada tingkat individu, tingkat organisasi dan tingkat masyarakat. Pengembangan kapasitas adalah suatu proses yang berlangsung dalam jangka panjang secara berkesinambungan dimana orang-orang belajar untuk lebih capable (lebih mampu melaksanakan pekerjaannya).  Mereka belajar agar dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan, dan mengubah perilaku mereka untuk mencapai tujuan mereka, yakni memperbaiki kualitas hidup. Dalam pengembangan kapasitas kita tidak dapat memandang orang sebagai sebuah gelas kosong. Kita tahu bahwa mereka, baik sebagai perorangan maupun sebagai kelompok, memiliki pengalaman hidup yang dapat menjadi sebuah sumber yang kaya bagi proses pembelajaran. Mereka memiliki kemampuan untuk menetapkan tujuan-tujuan mereka sendiri. Dalam diri mereka telah ada kemampuan yang mungkin untuk dikembangkan. Kita tentu saja perlu memperhatikan semua hal ini.

Dalam mengembangkan kapasitas individu, kelompok, organisasi atau masyarakat, kita tidak hanya sekedar mentransfer pengetahuan, keterampilan atau sikap, namun kita berbagi dengan mereka. Dalam proses pengembangan kapasitas kita tidaklah mengubah kemampuan mereka dengan hanya menambah atau mengganti kemampuan yang sudah mereka miliki, namun yang kita lakukan melalui proses berbagi tersebut adalah menciptakan suatu pengetahuan, keterampilan atau sikap yang baru, yang dikembangkan dari apa yang telah mereka miliki. Dalam proses pengembangan kapasitas di bidang tertentu setiap orang belajar bersama, dan terbuka kemungkinan dalam proses ini mereka juga memperoleh input dari orang-orang yang ahli dalam bidang yang dikembangkan tersebut.

Pengembangan kapasitas berbeda dengan pembangunan kapasitas (capacity building), suatu istilah yang sering digunakan pada tahun 1980an. Alasan penggantian kata ”pembangunan” dengan kata ”pengembangan” adalah untuk menekankan pentingnya proses perkembangan yang terjadi dalam diri masyarakat itu sendiri. Dengan perkataan lain, karena istilah pembangunan mempunyai konotasi menciptakan sesuatu yang tadinya belum ada, istilah ini cenderung untuk secara tidak sadar memandang remeh rasa memiliki dan potensi yang ada dalam masyarakat itu sendiri. Penting kita sadari bahwa peran para pekerja/petugas yang terlibat dalam pembangunan masyarakat adalah untuk memupuk peluang-peluang perubahan yang ada dalam masyarakat tanpa meremehkan inisiatif yang muncul dari mereka.  Pekerja/petugas pembangunan masyarakat juga mempunyai peran menciptakan suatu lingkungan yang mendukung terjadinya pembangunan masyarakat yang berkelanjutan.
Pihak yang Terlibat dan Kapasitas yang Dikembangkan

Kebutuhan pembangunan masyarakat selalu berubah. Suatu program atau proyek pembangunan masyarakat haruslah sesuai dengan kebutuhan situasi dan organisasi setempat. Orang-orang yang terlibat dalam pengembangan kapasitas hendaknya adalah orang-orang yang kegiatan dan aksesnya terhadap sumberdaya berkaitan dengan upaya perbaikan yang diinginkan oleh program pemberdayaan masyarakat. Mereka ini terutama adalah masyarakat, pemerintah, lembaga non-pemerintah, serta organisasi swasta komersial. Mereka adalah pengguna sekaligus juga penyedia jasa pengembangan kapasitas.  Semua mereka adalah co-learner (orang yang bersama-sama belajar)  di dalam kelompok pelaksana pengembangan kapasitas.

Tantangan terhadap pengembangan kapasitas adalah bagaimana bekerja dengan masyarakat yang beragam. Di dalam negara yang memiliki beragam budaya dan agama seperti Indonesia, aspek agama dan aspek-aspek budaya seperti kepercayaan dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat perlu mendapat perhatian khusus.

Kapasitas masyarakat yang ingin dikembangkan mencakup kapasitas:
•    Mengakses informasi, teknologi baru, sumberdaya finansial dan material, serta keterampilan dan pengetahuan.
•    Menganalisis situasi, mengidentifikasi masalah yang dihadapi serta potensi yang dimiliki.
•    Kapasitas menetapkan tujuan-tujuan.
•    Merencanakan anggaran, mengelola dan melaksanakan program atau proyek.
•    Memonitor dan mengevaluasi.
•    Mengorganisasikan dan memobilisasi sumberdaya.
•    Membuat keputusan dan berpartisipasi dalam proses pembangunan.
•    Membangun kerjasama dan mengembangkan jejaring kegiatan.
•    Mengatasi konflik.
•    Mengembangkan kepercayaan diri.

Daftar Pustaka


CIDA Policy Branch. Capacity Development, Why, What and How. Occasional Series Vol No.1,  May 2000.
             http://www.acdi-cida.gc.ca/index-e.htm

JICA. Capacity Development Handbook for JICA Staff. March 2004.
             http://www.jica.go.jp/english/publications/reports/study/capacity

Morgan, Peter. 2004. What is Capacity? Going beyond the Conventional Wisdom. Written for the News from the
             Nordic Africa Institute 2/2004. European Centre for Development Policy Management.
             http://www.ecdpm.org.

UNDP. Capacity Development. Capacity Development Practice Notice, July 2006.
             http://www.undp.org/oslocentre
Pemutakhiran Terakhir ( Thursday, 09 September 2010 ) Oleh Anwar Syarif, Widya Iswara Madya